Sumber
Kendala Dalam Pengembangan Kreativitas
Shallcross (1985) menggolongkan kendala atau rintangan dalam
menggunakan potensi kreatif ke dalam kendala historis, biologis, fisiologis, dan
sosiologis.
1.
Kendala Historis
Dikemukakan bahwa ditinjau secara historis
ada kurun waktu tertentu yang merupakan puncak kejayaan kreativitas. Sebaliknya
pula kurrun waktu yang tidak menunjang bahkan menghambat pengembangan kreativitas
perorangan maupun kelompok.
Shallcross menyebut sebagai contoh di dunia Barat, kehidupan
pada abad Victoria tidak memberikan banyak kebebasan untuk perilaku termasuk
pemikiran anggota masyarakatnya.
2.
Kendala Biologis
Dari sudut tinjau biologis, beberapa pakar menekankan bahwa
kemampuan kreatif merupakan ciri herediter, sementara pakar lainnya percaya
bahwa lingkungan menjadi faktor penentu utama. Harus diakui bahwa gen yang
diwarisi berperan dalam menentukan batas‑batas inteligensi, tetapi sering dalam
hal inteligensi kreatif, hereditas lebih banyak digunakan sebagai alasan daripada
merupakan kenyataan.
3.
Kendala Fisiologis
Seseorang dapat mengalami kendala faali karena terjadi kerusakan
otak karena penyakit atau karena kecelakaan. Atau seseorang menyandang salah
satu ketunaan fisik yang menghambatnya untuk rnengungkapkan kreativitasnya.
4.
Kendala Sosiologis
Lingkungan Sosial mempunyai dampak terhadap ungkapan
kreatifitas kita. Setiap masyarakat memiliki nilai, norma, dan tradisi tertentu,
kegiatan, minat dan perilaku kolektif. Lingkungan sosial merupakan faktor utama
yang menentukan kemampuan kita untuk menggunakan potensi kreatif dan untuk
mengungkapkan keunikan kita. Ungkapan kreatif melibatkan risiko pribadi. Sering
seseorang mundur dari pernyataan pikiran atau pendapat agar merasa diterima.
Implikasinya jelas bagi mereka yang berupaya menumbuhkan perilaku kreatif
melalui mengajar.
5.
Kendala Psikologis
Dari semua kategori kendala terhadap produktivitas kreatif
yang tersebut di muka ‑historis, biologis, fisiologis, dan sosiologis, kendala
yang paling utama dan penting mendapat perhatian pendidik ialah kendala
psikologis terhadap perilaku kreatif. Kendala dapat dirumuskan sebagai faktor
atau kendala yang membatasi, menghalangi, atau mencegah pencapaian sasaran (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), dalam hal
ini menghambat perilaku kreatif. Kendala yang dikemukakan sampai sebagian besar
termasuk faktor eksternal. Banyak di antaranya digunakan sebagai alasan untuk
tidak kreatif. Dalam kenyataan, beberapa orang meyakinkan dirinya bahwa faktor
eksternal menyebabkan mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan
kreativitasnya; dan keyakinan ini pun sudah merupakan kendala psikologis.
6.
Kendala Diri Sendiri
Faktor‑faktor intemal seperti apakah yang dapat menghambat
kinerja kreatif kita? Beberapa soal atau teka‑teki dapat membantu menyadari
kendala psikologis terhadap pengembangan kreativitas.
Faktor‑faktor internal yang
menghambat perilaku kreatif, seperti pengaruh dari kabiasaan atau pembiasaan,
perkiraan harapan orang lain, kurangnya usaha atau kemalasan mental, menentukan
sendiri batas‑batas yang dalam kenyataan tidak ada yang menghambat kinerja
kreatif kita, dan kekakuan atau ketidaklenturan dalam berpikir. Dapat pula
ditambahkan kendala seperti ketakutan untuk mengambil risiko, ketidakberanian
untuk berbeda atau untuk menyimpang dari yang lazim dilakukan, takut untuk
dikritik, diejek, atau dicemoohkan, ketergantungan pada otoritas, kecenderungan
untuk mengikuti pola perilaku orang lain, rutinitas, kenyamanan, keakraban,
kebutuhan akan keteraturan, ketakhyulan, merasa ditentukan oleh nasib,
hereditas, atau kedudukan seseorang di dalam hidup.
Menemukenali faktor internal
yang menghambat pengembangan potensi kreatif Anda dan dari siswa merupakan
langkah pertama untuk mengatasinya.
Menurut Murphy (1980), jika Anda
mempunyai keinginan yang kuat untuk membebaskan diri dari kebiasaan yang
menghambat ungkapan kreatif, Anda telah sembuh 51%.
Kendala
dalam Mengembangkan Kreativitas Anak
Renzulli (1986) tentang
keberbakatan, yang mempersyaratkan tiga kelompok ciri‑ciri, yaitu kemampuan
umum, kreativitas, dan pengikatan diri terhadap tugas atau motivasi intrinsik.
Jelaslah bahwa kreativitas dan motivasi merupakan faktor penentu keberbakatan
di samping tingkat kecerdasan di atas rata‑rata. Namun, lingkungan yang
menghambat dapat merusak motivasi anak, betapa kuat pun, dan dengan dernikian
mematikan kretivitas (Amabile, 1989).
Amabile mengemukakan empat cara yang mematikan kreativitas,
yaitu:
1.
Evaluasi
Rogers (dalam Vernon,. 1982) menekankan salah satu syarat
untuk memupuk kreativitas konstruktif ialah bahwa pendidik tidak memberikan evaluasi,
atau paling tidak menunda pemberian evaluasi sewaktu anak sedang asyik
berkriasi. Bahkan menduga akan dievaluasi pun dapat mengurangi kreativitas anak
2. Hadiah
Kebanyakan orang percaya bahwa memberi hadiah akan memperbaiki
atau meningkatkan perilaku tersebut. Ternyata tidak demikian. Pernberian hadiah
dapat merusak motivasi intrinsik dan mematikan kreativitas.
3.
Persaingan
(Kompetisi)
Kompetisi lebih kompleks daripada pemberian evaluasi atau hadiah
secara tersendiri, karena kompetisi meliputi‑keduanya. Biasanya persaingan terjadi
apabila siswa merasa bahwa pekerjaannya akan dinilai terhadap pekerjaan siswa
lain dan bahwa yang terbaik akan menerima hadiah. Hal ini terjadi dalam
kehidupan sehari‑hari dan sayangnya dapat mematikan kreativitas.
4.
Lingkungan yang
Membatasi
Alber Einstein yakin bahwa belajar dan kreativitas tidak dapat
ditingkatkan dengan paksaan. Sebagai anak ia mempunyai pengalaman mengikuti
sekolah yang sangat menekankan pada disiplin dan hafalan semata‑mata. Ia selalu
diberitahu apa yang harus dipelajari, bagaimana mempelajarinya, dan pada ujian
harus dapat mengulanginya dengan tepat, pengalaman yang baginya amat menyakitkan
dan menghilangkan minatnya terhadap ilmu, meskipun hanya untuk sementara.
Kendala
diri Sosiallisasi
Cara‑cara baku yang begitu lama diandalkan dalam mendidik dan
mengajar anak melalui evaluasi, hadiah, kompetisi dan membatasi pilihan, dalam
kenyataan dapat merusak kreativitas. Jika hal itu ditiadakan, bagaimana kita dapat
berhasil dalam menyosialisasikan anak menjadi orang yang dalam tingkah lakunya
sopan, bertanggung jawab dan taat hukum?
Jawabannya ialah bahwa kita harus bertindak secara seimbang.
Anak memerlukan pengendalian sehingga mereka merasa aman dalam lingkungan yang
stabil dan andal, tetapi tidak sedemikian jauh bahwa mereka merasa seakan-akan
apa pun yang mereka lakukan adalah karena diharuskan. Kita perlu menentukan batas
terhadap perilaku mereka tetapi sedemikian bahwa mereka dapat mempertahankan
motivasi intrinsik mereka (Amabile, 1989).
Kendala
dari Rumah
Tidak
jarang karena keinginan orang tua membantu anak berprestasi sebaik mungkin,
mereka mendorong anak dalam bidang‑bidang yang tidak diminati anak. Akibatnya
ialah, meskipun anak berprestasi cukup baik menurut ukuran standar, mencapai
nilai tinggi, mendapat penghargaan, tetapi mereka tidak menyukai kegiatan
tersebut sehingga tidak menghasilkan sesuatu yang betul‑betul kreatif
Lingkungan
keluarga dapat pula menghambat kreativitas anak dengan tidak menggunakan secara
tepat empat “pembunuh kreativitas” yaitu evaluasi, hadiah, kompetisi, dan
pilihan atau lingkungan yang terbatas (Amabile, 1989).
Tidak jarang karena keinginan orang tua membantu anak berprestasi sebaik mungkin, mereka mendorong anak dalam bidang‑bidang yang tidak diminati anak. Akibatnya ialah, meskipun anak berprestasi cukup baik menurut ukuran standar, mencapai nilai tinggi, mendapat penghargaan, tetapi mereka tidak menyukai kegiatan tersebut sehingga tidak menghasilkan sesuatu yang betul‑betul kreatif
Lingkungan keluarga dapat pula menghambat kreativitas anak dengan tidak menggunakan secara tepat empat “pembunuh kreativitas” yaitu evaluasi, hadiah, kompetisi, dan pilihan atau lingkungan yang terbatas (Amabile, 1989).
Kendala
dari Sekolah
Keempat “pembunuh kreativitas” dapat pula ditemukan di sekolah
dan pada guru yang sebetulnya ingin memupuk kreativitas. Memberikan evaluasi
semata‑mata dalam bentuk angka, tanpa penjelasan atau pemberian umpan balik
positif mempunyai dampak merugikan pengembangan kreativitas. Jika siswa sering
merasa diawasi dan dinilai guru, motivasi, dan kreativitas” mereka akan
berkurang.
Hadiah dapat diberikan dalam berbagai bentuk di dalam kelas,
tetapi jika anak merasa bahwa hadiah menjadi alasan utama untuk melakukan
sesuatu, kreativitas mereka mungkin akan berkurang.
Kompetisi sering terjadi di dalam kelas, sebagai gabungan dari
pemberian evaluasi dan hadiah, misalnya dalam bentuk kontes dengan hadiah untuk
pekerjaan yang terbaik. Hal ini menimbulkan persaingan antarsiswa dan siswa
akan membandingkan dirinya dengan siswa lain. Dengan membatasi pilihan anak,
anak dapat diberi kesempatan untuk memilih lukisan yang akan digambar, daripada
guru yang selalu menentukan apa yang harus digambar.
1.
Sikap Guru
Ditemukan pula bahwa sikap dan harapan guru terhadap siswa
sering dipengaruhi oleh pengetahuan mereka tentang IQ anak. Banyak guru
mengharapkan dan memperoleh lebih banyak dari siswa dengan IQ yang tinggi. Sebaliknya
guru tidak mengharapkan prestasi tinggi dari siswa yang diketahui mempunyai IQ
yang rendah, dan ini pun akan terjadi. Harapan guru secara sadar atau tidak
sadar dikomunikasikan kepada siswa, dan konsep diri serta harapan diri siswa
dibentuk oleh umpan balik dari guru. Pygmalion
effect ini juga disebut self-fulfilling prophesy, yaitu penemuan bahwa
tanpa disadari orang berperilaku sebagaimana mereka percaya orang lain mengharapkan
mereka berperilaku (Chaplin, 1976).
Keempat “pembunuh kreativitas” dapat pula ditemukan di sekolah dan pada guru yang sebetulnya ingin memupuk kreativitas. Memberikan evaluasi semata‑mata dalam bentuk angka, tanpa penjelasan atau pemberian umpan balik positif mempunyai dampak merugikan pengembangan kreativitas. Jika siswa sering merasa diawasi dan dinilai guru, motivasi, dan kreativitas” mereka akan berkurang.
Hadiah dapat diberikan dalam berbagai bentuk di dalam kelas, tetapi jika anak merasa bahwa hadiah menjadi alasan utama untuk melakukan sesuatu, kreativitas mereka mungkin akan berkurang.
Kompetisi sering terjadi di dalam kelas, sebagai gabungan dari pemberian evaluasi dan hadiah, misalnya dalam bentuk kontes dengan hadiah untuk pekerjaan yang terbaik. Hal ini menimbulkan persaingan antarsiswa dan siswa akan membandingkan dirinya dengan siswa lain. Dengan membatasi pilihan anak, anak dapat diberi kesempatan untuk memilih lukisan yang akan digambar, daripada guru yang selalu menentukan apa yang harus digambar.
1. Sikap Guru
Ditemukan pula bahwa sikap dan harapan guru terhadap siswa
sering dipengaruhi oleh pengetahuan mereka tentang IQ anak. Banyak guru
mengharapkan dan memperoleh lebih banyak dari siswa dengan IQ yang tinggi. Sebaliknya
guru tidak mengharapkan prestasi tinggi dari siswa yang diketahui mempunyai IQ
yang rendah, dan ini pun akan terjadi. Harapan guru secara sadar atau tidak
sadar dikomunikasikan kepada siswa, dan konsep diri serta harapan diri siswa
dibentuk oleh umpan balik dari guru. Pygmalion
effect ini juga disebut self-fulfilling prophesy, yaitu penemuan bahwa
tanpa disadari orang berperilaku sebagaimana mereka percaya orang lain mengharapkan
mereka berperilaku (Chaplin, 1976).
2.
Belajar dengan
Hafalan Mekanis
Pada dasawarsa 1960‑an pendukung gerakan “kelas terbuka” (open classroom) menekankan bahwa metode
pendidikan tradisional, termasuk menghapal secara mekanis, menghambat
kreativitas. Bahkan ada yang berpendapat bahwa terlalu banyak pengetahuan
merusak kreativitas. Namun, sekarang pendukung dari gerakan “back to basics”
menyatakan bahwa pendidikan tidak ada gunanya jika tidak berdasarkan pembelajaran
bahan pengetahuan dasar.
3.
Kegagalan
Semua siswa pasti pernah mengalami kegagalan dalam pendidikan mereka,
tetapi frekuensi kegagalan dan cara bagaimana hal itu ditafsirkan mempunyai dampak
nyata, terhadap motivasi intrinsik dan kreativitas.
Kegagalan tidak dapat dihindari seluruhnya, dan juga tidak
perlu dihindari, karena kita dapat belajar dari kesalahan dan kegagalan.
Bedanya ialah dalam cara guru membantu siswa memahami dan menafsirkan kegagalan
4.
Tekanan akan
Konformitas
Bukan guru saja yang dapat mematikan kreativitas di sekolah.
Anak-anak dapat saling menghambat kreativitas mereka dengan menekankan
konformitas. Dampak dari tekanan teman sebaya nyata jika kita melihat gaya
berpakaian anak, dan hiburan atau kegiatan waktu luang yang disukai. Pada umur
sekitar sembilan tahun tekanan akan konformitas oleh teman sebaya dapat menghambat
kreativitas anak. Penemuan bahwa kreativitas cenderung menurun pada tingkat
kelas empat agaknya berkaitan langsung dengan tekanan teman sebaya (Torrance,
dikutip Amabile, 1989).
Tekanan yang berlebih pada konformitas dan tradisi, baik di rurnah,
di sekolah, dan di dalam masyarakat, dapat menghambat pengembangan potensi
kreatif yang justru dalam perwujudannya mencerminkan keunikan seseorang.
Seyogianya setiap anak diberi kebebasan untuk “menjadi dirinya”.
5.
“Sistem” Sekolah
Dalam tulisannya, Boredom,
High Ability and Achievement Joan Freeman (1993) memberikan saran‑saran
bagaimana mengatasi rasa bosan anak berbakat di sekolah. Dari penelitiannya ia
memperoleh basil, bahwa kebosanan dapat timbul karena cara‑cara belajar
mengajar yang tidak tepat. Cara terbaik untuk menghindari menurunnya minat dan
timbulnya kebosanan ialah dengan meningkatkan motivasi intrinsik, Bagi siswa
berbakat pembelajaran harus menantang, dengan memberikan kepada mereka bahan
pelajaran yang lebih majemuk dan merangsang. Siswa berbakat yang dalam
pelajaran membaca, harus mengikuti tempo siswa lain, akan merasa bosan.
Sebaiknya, ia diberi bahan bacaan yang lebih maju, sesuai dengan tingkat
kemampuannya. Mempertimbangkan minat khusus anak dan gaya belajarnya merupakan
cara yang efektif untuk melibatkan siswa secara aktif dalam belajar. Pendekatan
yang fleksibel dalam mengajar penting untuk meningkatkan kompetensi anak.
Keseimbangan dalam Pembelajaran
Sebagaimana telah dikemukakan beberapa karakteristik guru, guru
cenderung menghambat keterampilan berpikir kreatif dan menghambat kesediaan atau
keberanian anak untuk mengungkapkan kreativitas mereka. Ini disimpulkan Cropley
(1989) sebagai berikut:
1.
Penekanan bahwa guru
selalu benar.
2.
Penekanan pengajaran
berlebih pada hafalan.
3.
Penekanan pada
belajar secana mekanis tentang teknik pemecahan masalah
4.
Penekanan pada
evaluasi eksternal (oleh guru) dan kurang mementingkan evaluasi oleh siswa
sendiri.
5.
Penekanan secara
ketat untuk menyelesaikan pekerjaan.
6.
Penekanan secara
berlebih pada konformitas terhadap norma kelompok
7. Perbedaan secara kaku
antara bekerja dan bermain dengan menekankan makna dan manfkat dari bekerja,
sedangkan bermain adalah sekadar rekreasi.
Kendala Konseptual dan Cara Mengatasinya
Adams (1986) menggunakan istilah conceptual bloks, yaitu dinding mental yang merintangi individu
dalam pengamatan suatu masalah serta partimbangan cara‑cara pemecahannya.
Sedangkan conceiptutial blockbusting ialah
bagaimana, kita dapat menghancurkan dinding mental yang menghambat kinerja
kreatif kita. Sebagaimana telah dikemukakan, kendala itu ada yang bersifat
internal (ditimbulkan oleh diri sendiri) dan ada yang bersifat ekternal, yaitu
timbul dalam lingkungan tertentu. Sehubungan dengan itu dapat dibedakan kendala
yang diperoleh dalam pola kebudayaan tertentu (lingkungan makro) dan kendala
yang berasal dari lingkungan dekat, sosial dan fisik. Sedangkan kendala
internal meliputi kendala dalam persepsi, kendala emosional, kendala imajinasi,
kendala intelektual, dan kendala dalam ekspresi.
1.
Kendala Kultural
Kekuatan sosial‑budaya ini mempengaruhi pola perilaku kita,
perasaan, sikap, interaksi, sistem nilai, pendidikan, norma kelompok, dan
hampir semua aspek kehidupan kita, termasuk perilaku kreatif (Van Demark,
1991).
Beberapa contoh dari kendala kultural terhadap kreativitas
menurut Adams (1986) ialah:
a)
berkhayal atau
melamun adalah membuang‑buang waktu,
b)
suka atau sikap
bermain hanyalah cocok untuk anak‑anak,
c)
kita harus berpikir
logis, kritis, analitis, dan tidak mengandalkan pada perasaan dan firasat,
d)
setiap masalah dapat
dipecahkan dengan pemikiran ilmiah dan dengan uang banyak,
e)
keterikatan pada
tradisi, dan
f)
adanya atau
berlakunya tabu
2.
Kendala Lingkungan Dekat
(Fisik dan Sosial)
Termasuk lingkungan dekat ialah lingkungan keluarga dan
lingkungan kerja. Contoh kendala lingkungan dekat:
a)
kurang adanya kerja
sama dan saling percaya antara, anggota keluarga atau antara sejawat,
b)
majikan (orang tua)
yang otokrat dan tidak terbuka terhadap ide‑ide bawahannya (anak),
c)
ketidaknyamanan
dalam keluarga atau pekerjaan,
d)
gangguan lingkungan,
keributan, kegelisahan, serta
e)
kurang adanya
dukungan untuk mewujudkan gagasan‑gagasan.
Di samping kendala dari lingkungan, banyak kendala yang ditimbulkan
oleh diri sendiri, secara sadar atau tidak. Termasuk di sini ialah:
3.
Kendala perseptual
Kendala Perseptual dapat berupa :
a)
kesulitan untuk mengisolasi
masalah,
b)
kecenderungan untuk
terlalu membatasi masalah
c)
ketidakmampuan
untukmelihat suatu masalah dari berbagai sudut
d)
melihat apa yang
diharapkan akan dilihat; pengamatan stereotip label terlalu dini,
e)
kejenuhan sehingga
tidak peka lagi dalam pengamatan, serta
f)
ketidakmampuan untuk
menggunakan semua masukan sensoris
4.
Kendala emosional
Kendala emosional mewarnai dan membatasi bagaimana kita dan
bagaimana kita berpikir tentang suatu masalah. Sebagai contoh:
a)
tidak adanya tantangan;
masalah tersebut tidak menarik perhatian
b) semangat yang berlebih;
terlalu bermotivasi untuk cepat berhasil; dapat melihat satu jalan untuk
diikuti,
c)
takut membuat
kesalahan; takut gagal; takut mengambil resiko,
d)
tidak tenggang rasa
terhadap ketaksaan (ambiguity); kebutuhan berlebih akan keteraturan dan
keamanan,
e)
lebih suka menilai
gagasan, daripada memberi gagasan, serta
f)
tidak dapat rileks,
atau berinkubasi
5.
Kendala imajinasi
Hal ini rnenghalangi kebebasan dalam menjajaki dan
memanipulasi gagasan‑gagasan. Contoh:
a)
pengendalian yang
terlalu ketat terhadap alam pra‑ sadar atau tidak sadar
b)
tidak memberi
kesempatan pada daya imajinasi, serta
c)
ketidakmampuan untuk
membedakan realitas dari fantasi.
6.
Kendala intelektual
Hal ini timbul bila informasi dihimpun, dirumuskan, atau
diolah secara tidak benar. Contoh:
a)
kurang informasi
atau inforrnasi yang salah,
b)
tidak lentur dalam menggunakan
strategi pemecahan masalah, serta
c)
perumusan masalah
tidak tepat.
7.
Kendala dalam
Ungkapan
Kendala dalam ungkapan, misalnya:
a)
keterampilan bahasa
yang kurang untuk mengungkapkan gagasan, dan
b)
kelambanan dalam
ungkapan secara tertulis.
8.
Mengatasi Kendala
Konseptual (Conceptual Blockbusting)
Cara mengatasi atau menghindari kendala bergantung dari jenis
kendala itu, apakah eksternal atau internal, apakah merupakan kendala
intelektual, emosional, atau perseptual. Bagaimanapun, ada beberapa cara atau strategi
yang secara umum dapat digunakan untuk membantu kita dalam kinerja kreatif,
yaitu (Adams, 1986):
a.
Menggunakan cara‑cara
pemikiran yang non‑verbal
Kita sudah begitu terbiasa atau terpaku pada pemikiran verbal
karena inilah yang ditekankan dalam pendidikan formal, sehingga kita jarang
menggunakan cara pemikiran yang lain, misalnya berpikir visual (dalam gambaran
atau bayangan) atau yang mengandalkan alat indra lainnya.
b. Mempunyai sikap
mempertanyakan (questioning) atau
menyelidiki (inquistive). Sikap mempertanyakan
ini perlu untuk mendorong konseptualisasi. Jika Anda cenderung untuk menerima
saja keadaan, maka juga tidak ada alasan atau kebutuhan untuk memperbarui.
Sikap mempertanyakan perlu untuk mendapatkan jawaban yang kreatif
c.
Kelancaran dan
kelenturan dalam berpikir
Dengan cara berpikir yang bebas dari kekakuan kita dapat mengatasi
kendala konseptual dalam pemecahan masalah.
d.
Menggunakan teknik‑teknik
kreatif
Teknik‑teknik kreatif yang telah dikemukakan dalam dapat
membantu kita memperoleh gagasan inovatif terhadap masalah yang mengganggu
kita, yaitu teknik sumbang saran, daftar periksa, synectics, pemecahan masalah
secara kreatif, dan lain‑lainnya.
Sumber :
Prof. Dr. Utami Munandar. Pengembangan
Kreativitas Anak Berbakat. Rineka Cipta